View Single Post
Old 11-10-2018, 12:29 AM   #372
rizkimn11_
academy
 
Join Date: Aug 2018
Posts: 262
Thanks: 42
Thanked 67 Times in 35 Posts
Mentioned: 40 Post(s)
rizkimn11_ is just really nicerizkimn11_ is just really nicerizkimn11_ is just really nicerizkimn11_ is just really nice
Default Re: Memandang Masa Depan Manchester United

Untuk Merawat Sejarah, Manchester United Perlu Menjadi Modern

10 October 2018 17:04*WIB

[img]https://blue.kumparan.com/kumpar/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_480,a r_49:28/v1539162925/ftmnbn5gqnd8lvwn7etv.jpg[img]
Giuseppe Marotta, mantan Direktur Olahraga Juventus. (Foto:GABRIEL BOUYS / AFP)

Bagi setiap klub, sejarah juga bisa berarti hantu yang menggentayangi langkah mereka di masa kini dan mengaburkan perjalanan mereka di masa depan.

Manchester United, contohnya. Gelimang nama besar ada dalam catatan sejarah mereka. Hingga masa kepelatihan Sir Alex Ferguson berakhir, United mengamankan 20 gelar juara Premier League, 11 trofi Piala FA, empat gelar Piala Liga Inggris, 20 gelar Community Shield, tiga trofi Liga Champions, satu gelar European Cup Winners' Cup, dan 1 trofi kemenangan Piala Super Eropa. Itu belum ditambah dengan satu trofi Piala Interkontinental, Piala Dunia Antarklub, dan dua gelar juara di Divisi Dua (League One).

Sejarah dan nama besar seharusnya menjadi modal baik bagi setiap klub untuk tetap bertahan sebagai yang nomor satu atau setidaknya berprestasi di masa kini. Sejarah yang demikian panjang seharusnya menjadi pengingat bahwa rangkaian keberhasilan itu tidak didapat United dengan berdiam diri.

Perubahan demi perubahan menjadi menu mutlak. Bandingkan saja era United sebelum dan sesudah Fergie. Kegigihan Fergie untuk merawat pembinaan muda, membangun United sebagai klub yang menjadi pabrik tempat memproduksi pemain-pemain bintang dengan menumbuhkan mental bahwa tak satu pemain pun yang lebih besar dari klub merupakan metronom yang pada akhirnya sanggup menjadikan United sebagai salah satu klub paling digdaya.

Entah Fergie pergi tanpa meninggalkan kesadaran kepada penghuni Old Trafford untuk bangkit atau memang para petinggilah yang abai dengan segala permasalahan --yang jelas, selepas Fergie pergi, United ibarat menjadi sekelompok penganut sejarah antikuarian, sekumpulan orang yang punya libido tinggi pada pencapaian masa lalu.

Begitu kukuh untuk percaya bahwa apa-apa yang diraih di masa lalu adalah identitas yang tidak mungkin ditinggalkan. Karena mereka beranjak dari identitas itu, maka habislah segala sesuatu yang telah dibangun.


Old Trafford (Foto:Oli SCARFF / AFP)

Bagi klub sepak bola, sejarah bukan dosa. Tapi, karena sepak bola telah bergerak dalam modernisasi seharusnya orang-orang yang berkecimpung dalam sepak bola juga tak boleh abai dengan modernisasi. Jika demikian, yang ada justru tertinggal, tertatih-tatih menanggung beban tak perlu bernama sejarah.

Keputusan untuk bergerak dalam modernisasi pada kenyataannya dilakoni dengan apik oleh rival United, Manchester City. Klub yang terletak di timur Manchester ini tak perlu besar di masa lampau untuk tampil memukau di masa sekarang. City kerap dipandang sebagai klub orang kaya baru, fans mereka dipandang sebagai fans karbitan, atau klub bola yang oportunis.

City hidup dengan satu prinsip memenangi sepak bola dan bisnis sekaligus. Di ranah tempat sejumlah pemain top bertanding dengan biaya selangit, tayangan pertandingan yang menyedot jutaan penonton, hingga pemilik klub yang tercatat sebagai salah satu manusia paling kaya di dunia, uang menjadi sumber dari segala keunggulan kompetitif.

Namun, kondisi ini tak bertahan lama. Semuanya bermula dari gelar juara Premier League yang berhasil direbut City pada musim 2011/12. Ini menjadi gelar juara Premier League pertama mereka setelah 44 tahun. Yang dimiliki City, tapi dipunyai United adalah jembatan antara ranah kepelatihan dan manajemen.

Bila diperhatikan, kehebatan City dewasa ini tidak hanya ditopang oleh kegeniusan taktik dan kemampuan para pemainnya, tapi juga tangan dingin Ferran Soriano dan Txiki Begiristain. Jika suatu saat Guardiola akan hengkang, ide-ide untuk mendapatkan orang-orang seperti Guardiola masih ada dalam benak Soriano dan Begiristian. Jika keduanya yang pergi, gagasan untuk melanjutkan hidup itu tetap ada dalam struktur manajemen yang rapi dan kompleks itu.

Akhir Mei lalu, Manchester Evening News mewartakan bahwa United akan menunjuk seorang direktur olahraga. Akan tetapi, direktur olahraga di yang dimaksud tidak akan punya wewenang dalam urusan transfer. Sebab, direktur olahraga di Manchester United adalah pengembangan dari jabatan sekretaris klub yang sebelumnya dipegang oleh John Alexander.

Kini, Alexander sudah pensiun dan restrukturisasi pun dilakukan di manajemen Manchester United. Peran Alexander, dibagi ke dalam tiga peran berbeda, yakni sekretaris klub, direktur olahraga, dan kepala pengembangan sepak bola. Saat ini United sudah punya sekretaris baru dalam diri Rebecca Britain dan jabatan kepala pengembangan sepak bola masih dipegang John Murtaugh.

Sebetulnya, Manchester United sekarang ini sudah memiliki sosok yang tugasnya kurang lebih sama dengan direktur olahraga, yaitu Ed Woodward. Akan tetapi, Woodward sendiri sudah punya tugas berat sebagai CEO.

Sehari-hari, Woodward selalu menjalin komunikasi dengan Mourinho. Secara sederhana, selain sebagai pelatih, Mourinho juga bertugas untuk mengidentifikasi apa saja kelemahan timnya dan seperti apa dia ingin timnya bermain. Dari sana, muncullah daftar beli yang akan dieksekusi oleh Woodward.

Tugas bertumpuk yang diemban oleh Woodward sepintas menunjukkan kredibilitasnya sebagai petinggi United. Namun, penumpukan tugas tak jarang membikin ketimpangan dalam tubuh perusahaan. Seandainya orang tersebut berhenti, bukannya tak mungkin klub bakal kalang-kabut karena kehilangan beberapa pilar sekaligus dalam satu orang.


CEO Man. United, Ed Woodward. (Foto:AFP/Oli Scarff)

Setidaknya, masalah seperti inilah yang muncul sepeninggal Sir Alex. Itu baru efek jangka panjang. Efek jangka pendeknya, kompleksnya tugas tak jarang membuat tanggung jawab luput. Padahal, ibarat tubuh manusia, rusaknya satu fungsi, bahkan mungkin yang terkecil sekalipun, bakal berdampak pada fungsi lainnya.

Kabar baik bagi suporter United, pihak manajemen tampaknya mulai serius memandang persoalan ini. Per Selasa (9/10/2018), Football Italia mengabarkan bahwa United sedang melakoni pembicaraan serius dengan mantan petinggi Juventus, Beppe Marotta.

Keputusan untuk mengontak orang-orang demi mengisi posisi-posisi puncak tentunya tak pernah menjadi keputusan tanpa dasar. Kalau itu yang dilakukan maka sama dengan bunuh diri. Harus ada kasus-kasus identik yang membikin orang tersebut cocok untuk mengangkat suatu perusahaan, dalam hal ini United, dari keterpurukan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apa yang membikin Marotta patut buat disebut sebagai orang yang paling diperhitungkan oleh United?

Beppe Marotta bukan Bill Shankly. Marotta bukan sosok yang mewujud menjadi sebentuk mitologi. Jiwanya tidak bersemayam dalam keseluruhan sejarah Juventus. Kata-katanya tidak dipandang sebagai nubuatan yang membangkitkan harapan orang-orang bahwa keterpurukan di satu masa bukan berarti membuat mereka terbenam dalam kesemenjanaan seumur hidup.

Marotta dan Shankly, bersama Fergie memang ada di era keterpurukan masing-masing klub. Merekalah yang memunguti puing-puing lalu membangunnya kembali menjadi Juventus, Liverpool, dan United yang kita kenal sekarang. Lantas, bangunan itu dipugar oleh siapa pun yang bertugas dalam sistem manajemen, dan dijaga oleh mereka yang berjibaku di atas lapangan, di bawah tumpukan taktik.

Namun, Marotta berbeda dengan Shankly dan Fergie. Orang-orang tidak membutuhkannya sebagai patung sesembahan layaknya Fergie dan Shankly, orang-orang memerlukannya sebagai sosok yang mengangkat Juventus dari keterpurukan.

[/img]https://blue.kumparan.com/kumpar/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_480,a r_36:20/v1539164238/xl5jq58mx1viiaa3phec.jpg[/img]
Para petinggi Juventus, Carlo Tavecchio dan Beppe Marotta. (Foto:MASSIMO PINCA / AFP)

Saat Marotta menginjakkan kakinya pertama kali ke Turin sebagai Direktur dan CEO pada 2010, Juventus sedang babak-belur dihajar mediokritas. Juventus mengakhiri musim 2009/10 di peringkat tujuh. Bagi Juventus, itu merupakan capaian terburuk sejak mereka kembali ke Serie A pada 2007 akibat skandal yang mencoreng nama besar mereka sejadi-jadinya. Tak pelak, performa yang dinilai menyedihkan itu membidani kelahiran protes besar-besaran dari para suporter dan loyalisnya.

Rekam jejak menjadi frasa kunci mengapa Juventus menjatuhkan pilihannya kepada Marotta. Bila dirunut, Marotta masuk ke Sampdoria pada 2002, saat Blucerchiati terpuruk. Kedatangannya ditandai dengan perekrutan Walter Novellino sebagai pelatih. Yang dilakukan setelahnya, Marotta dan Novellino membangun klub dengan merombak skuat. Andrera Gasbarroni dan Fabio Bazzani menjadi salah dua yang didatangkan.

Idealisme yang berpadu dengan keputusan-keputusan profesional itu pada akhirnya berhasil mengangkat Sampdoria dari Serie B ke Serie A. Hebatnya, Sampdoria pun mampu menembus babak perempat final Coppa Italia.

Fabio Paratici menjadi orang yang langsung diajak Marotta begitu ia menjejak ke Juventus. Ini bukan pertama kalinya Marotta dan Paratici bekerja sama, karena di Sampdoria, Paratici-lah yang ditunjuk Marotta sebagai pencari bakat.

Lapangan bola bukan arena sulap. Target demi target mesti ditempuh setahap demi setahap. Itulah sebabnya, Marotta tidak mau menenteng misi muluk-muluk di awal-awal kepelatihannya. Yang menjadi pekerjaannya adalah cukup mengembalikan Juventus ke persaingan elite klub Italia. Artinya, Juventus harus dibawa dulu untuk berkompetisi di papan atas sebelum merengkuh kedigdayaan.

Serupa dengan langkahnya di Sampdoria, Marotta melakukan perombakan skuat sebagai langkah awal. Pemain-pemain yang dinilainya tidak kompeten lagi segera disingkirkan. Mulai dari Mauro Camoranesi, Jonathan Zebina, Cannavaro, David Trezeguet, Sergio Almiron, Nicola Legrottaglie, Christian Molinaro, Christian Poulsen, Diego Ribas, hingga Martin Caceres.

Sepintas, keputusan seperti ini bakal membuat klub terlihat tidak tahu berterima kasih kepada mereka yang sudah memberikan gelar juara. Namun, klub tidak akan bisa hidup jika mementingkan romantisme belaka. Harus ada tindakan-tindakan realistis yang membuat klub mampu bertahan hidup.

Istilah kasarnya, pemain-pemain yang tak kompeten lagi bisa disebut sebagai racun yang menggerogoti tubuh klub. Lantas, bagaimana klub bisa sehat bila di dalam tubuhnya bersemayam penyakit dan kesemenjanaan?

Untuk menambal skuat yang bolong, Marotta pun mendatangkan talenta-talenta yang dinilai sesuai, tentunya dengan mempertimbangkan kebutuhan kepelatihan. Menariknya, Marotta juga berhasil menggaet sejumlah nama besar secara gratis.

Yang menjadi pertimbangan Marotta adalah, bisnis tidak bisa dijalankan secara naif, harus ada hitung-hitungan jelas, memahami titik laba dan rugi supaya klub tidak hanya hidup satu atau dua musim. Bila banyak klub muak dengan Financial Fair Play, Marotta melihat aturan ini sebagai koridor yang melindungi langkah Juventus dari keterpurukan manajemen keuangan.

Walau tetap menutup musim perdananya di posisi tujuh, Marotta sudah memiliki gambaran pasti tentang apa yang seharusnya ia lakukan bersama Juventus. Lantas, musim keduanya dibuka dengan perekrutan Antonio Conte sebagai pelatih. Itu ditambah dengan kedatangan Andrea Pirlo sebagai buangan dari AC Milan, dan disertai dengan kemunculan Stephan Lichtsteiner dan Arturo Vidal yang biaya transfernya tak lebih dari kisaran 20 juta euro.

Conte yang meledak-ledak itu pada akhirnya menjadi allenatore yang paling sesuai untuk Juventus. Kedatangannya ke Juventus tidak hanya ditandai dengan pakem tiga bek yang baru dan ternyata sesuai, tapi juga dengan perubahan mental yang membikin klub melihat kekalahan sebagai perkara najis. Hasilnya tak sia-sia, Juventus menutup musim 2011/12 dengan raihan scudetto dan finalis Coppa Italia. Bahkan di Serie A musim tersebut, Juventus tak mengalami satu kekalahan pun.

Kata orang-orang, mempertahankan jauh lebih sulit daripada meraih. Untungnya, Marotta tak terperdaya dengan kesuksesannya sendiri sehingga melahirkan strategi untuk menstabilkan Juventus di ranah kompetisi. Menjadi juara Eropa tentu menjadi impian bagi setiap klub liga-liga top Benua Biru. Namun, Marotta juga tak mau buru-buru. Fokus utamanya adalah membuat langkah Juventus stabil di kompetisi liga.

Strateginya hingga musim 2013/14 masih tak berbeda jauh dengan dua musim sebelumnya. Ia mendatangkan pemain-pemain buangan tapi cocok dengan taktik yang diusung oleh pelatih. Nama Paul Pogba dan Carlos Tevez menjadi salah duanya.

Aral bagi Marotta itu datang pada akhir 2014/15. Wujudnya cukup mengerikan, Conte mengundurkan diri dan dipastikan bergabung dengan Chelsea. Namun, di sinilah letak keunggulan strategi manajemen Juventus. Ia tidak seperti, katakanlah United, yang mengusung prinsip one man show. Pelatih hanya berperan sebagai juru taktik, sehingga begitu keluar, tidak mengganggu fungsi manajemen yang lain. Ide untuk melanjutkan perjalanan klub tidak terputus. Itu terbukti dengan kemantapan Juventus untuk memanggil Massimiliano Allegri sebagai suksesor Conte.

[/img]https://blue.kumparan.com/kumpar/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_480,a r_36:20/v1520145775/la0owlzkbfdhvy4wtrka.jpg[/img]
Juventus kalahkan Lazio di Olimpico. (Foto:REUTERS/Max Rossi)

Pemanggilan Allegri serupa dengan Conte: Menuai keraguan dari berbagai pihak, terutama suporter. Untuk kasus Conte, orang-orang meragukan karena nama Walter Mazzarri dan Luciano Spalletti sempat dikait-kaitkan. Nah di awal pemanggilan Allegri, publik meragukan karena sang allenatore hanya tampil meyakinkan semusim bersama Milan.

Apalagi, di musim-musim akhirnya, Allegri juga muncul sebagai sosok yang begitu dicemooh oleh pendukung Milan. Ia dianggap sebagai pelatih yang tidak sanggup mengangkat performa Milan yang kala itu juga sedang dilanda eksodus pemain-pemain bintangnya.

Namun, perhitungan Marotta lagi-lagi tepat. Allegri dan pemain-pemain Juventus berhasil mempertahankan gelar scudetto, bahkan pada 2015 Juventus berhasil menjejak ke final Liga Champions.

Keberhasilan mempertahankan dominasi di Serie A tak serta-merta membuat target Marotta mandek dan jalan di tempat. Kali ini, Liga Champions menjadi bidikannya.

Seiring dengan meningginya target, strategi pun harus diubah. Juventus mulai berbelanja pemain bintang. Paulo Dybala, Alex Sandro, dan Mario Mandzukic. Persoalan baru pada musim 2016/17 muncul. Pogba memutuskan untuk hijrah ke United. Otomatis, Juventus kehilangan salah satu pemain paling produktif sekaligus sumber kreativitasnya. Namun, Marotta tak berhenti menambah amunisi. Pemain-pemain papan atas kembali didatangkan walaupun target juara Liga Champions belum juga tercapai.

Marotta memang sudah hengkang dari Juventus pada awal 2018/19 ini. Namun, sebelum pergi, ia sudah meninggalkan warisan yang membuat Juventus tak hanya kuat di lapangan bola, tapi juga di atas laporan dan neraca keuangan: Cristiano Ronaldo. Sang megabintang tidak hanya diborong untuk menunaikan asa Juventus meraih gelar juara Liga Champions, tapi meningkatkan performa bisnis klub.

Juventus memang sudah kehilangan Marotta. Namun, yang terpenting. Ide-ide itu tak terhenti di Marotta, karena toh pada 25 Oktober 2018 nanti, Juventus dikabarkan akan mengumumkan siapa yang menjadi pengganti Marotta.

United pun tak salah untuk bergegas. Mengikutsertakan Marotta ataupun nama lain di posisi Direktur Olahraga memang bakal menjadi perkara baru bagi United. Namun, serupa sepak bola yang tak pernah tinggal tetap, United pun seharusnya paham, bahwa cara-cara lama tidak akan memberikan kejayaan yang baru bagi mereka. Apalah artinya membangga-banggakan sejarah jika lumpuh di masa kini? Toh, bila demikian, segala capaian gemilang itu hanya akan menjadi cerita usang yang membuktikan bahwa United tak ada apa-apanya di masa kini, apalagi masa depan.

www.kumparan.com

Code:
https://m.kumparan.com/@kumparanbola/untuk-merawat-sejarah-manchester-united-perlu-menjadi-modern-1539165233834344875
rizkimn11_ is offline   Reply With Quote